Rabu sore lalu, suasana kafe dan resto steak Etcetera di Jalan Trunojoyo, Bandung, Jawa Barat, itu tak begitu ramai. Dua pasang anak muda bergantian keluar-masuk saat satu keluarga mengisi meja yang dikelilingi empat kursi kayu. Di atasnya, garpu dan pisau tergeletak berdampingan.
Sambil menunggu pesanan, Krisanti, 41 tahun, asyik memainkan BlackBerry dengan kedua tangannya. Adapun Reza, anak bungsunya, punya kesibukan lain. Bocah lelaki berusia 10 tahun yang masih berseragam sekolah dasar itu tengah tenggelam menikmati pasta beef. Sepiring chicken parmigiana di samping kanannya sudah menunggu untuk disantap.
Sementara itu, Rayhan--abang Reza, yang berseragam SMP--memilih memainkan telepon seluler seperti ibunya sambil menunggu pesanan pasta beef datang. "Saya suka sausnya, beda dengan di tempat lain," kata anak lelaki berkacamata itu. Sang ibu ikut menimpali. "Bumbu sausnya lebih banyak rempah," ujar perempuan berkerudung itu.
Saus. Itulah bumbu andalan di kafe dan resto steak Etcetera atau biasa ditulis Etc di Jalan Trunojoyo 38, Bandung. Racikan buah ketekunan Mariana Unsulangi--atau biasa disapa Inge--itu di dapur sejak kecil menyiram berbagai olahan daging, terutama steak, dengan mantap. Tak ringan, tapi juga tak tajam. "Balance, itu kelebihannya," kata Charles Unsulangi, kakak Inge, yang ikut mengelola resto itu sejak berdiri pada 2000.
Label Etc memang tak berarti apa-apa. Tapi cobalah sausnya pada Tournedo Beef Steak, misalnya. Disajikan di atas kentang tumbuk bercampur irisan sayuran, bagian terbaik dari daging tenderloin itu diselimuti cairan keju dan irisan jamur. Setelah menikmati bagian atas menu seharga Rp 33 ribu itu, silakan iris daging gempal kecokelatan ini, lalu sapu saus di sekelilingnya perlahan. Daging nan empuk di mulut itu meresapkan saus BBQ yang terbuat dari krim, keju parmesan, dan onion. Sedap.
Inge boleh dibilang spesialis saus. Di keluarga berdarah Manado yang suka memasak itu, kata Charles, segala adonan diramu untuk mendapatkan rasa saus yang lezat dan tepat. Kegemarannya itu kini terus ditekuninya dengan belajar kembali di sebuah sekolah kuliner di Singapura.
Etc awalnya seperti warung steak pinggir jalan, membuka usaha di halaman sebuah rumah di Jalan Trunojoyo. Sekarang lokasi awalnya itu terletak di seberang tempat usaha itu kini berada. Mengenang masa awal, kata Charles, mereka sempat kaget juga. Tempatnya kerap disesaki pembeli hingga ada yang terpaksa makan di dalam mobil. Sebagian lagi hanya bisa membungkusnya untuk dibawa pulang.
Pindah ke tempat baru yang bentuk awalnya adalah sebuah rumah tinggal, konsep warung berubah menjadi resto fine dining. "Menu klasik dihilangkan," katanya. Kesan makan resmi dengan harga mahal tak terelakkan. Sejak itu, Charles mengakui, pelanggannya mulai berkurang, terutama dari kalangan mahasiswa yang kerap nongkrong.
Untuk mengembalikan citranya di masa awal, Etc kini menyuguhkan kembali sejumlah menu klasik. Dalam buku menu, Chicken Steak, Chicken Cordon Blue, atau Sirloin Blackpepper Steak ditampilkan di halaman pertama. Harganya disamaratakan Rp 26 ribu. Tak ketinggalan berbagai sajian omelet jamur hingga omelet Bolognese yang banyak dipesan dengan banderol Rp 16-18 ribu. "Rasanya dipertahankan sama seperti dulu," ujar Charles.
Di halaman berikutnya, menu-menu lainnya berbaris menggugah selera. Ada Popeye Steak, yaitu daging panggang dengan taburan bayam basah dan saus jamur dengan kentang tumbuk. Bagi penggemar pasta, sepertinya Spaghetti Carbonara atau Smoked Chicken Tetrazini patut untuk dicoba.
Nasi goreng iga juga sayang dilewatkan. Menu seharga Rp 22 ribu ini mencampur nasi goreng dengan daging iga cincang, lengkap dengan telur ceplok di atasnya. Sepotong tulang iga panggang tak lupa tersaji di sisi nasi.
Untuk setiap daging steak, Etc memotongnya dengan porsi sama, 120 gram. Agar empuk dan wangi, pemanggangan memakai arang. Walau harus rajin mengontrol agar kematangan daging merata, cara itu lebih memuaskan daripada dengan memakai briket batu bara.
Pada beberapa menu, seperti Dori Steam dan Nasi Kari Kambing, pelanggan disarankan memesan sehari sebelumnya. Untuk menu yang terutama untuk disantap bersama keluarga besar, Charles mengaku menyiapkannya secara khusus. "Hitung-hitung melepas kejenuhan," katanya. Kalau sudah begitu, mereka akan all out di dapur, semata agar pelanggannya puas.
Pelanggannya dalam sehari rata-rata 100-200 orang. Hari teramai biasanya Sabtu, mulai selewat makan siang. Pada hari lainnya, pelanggan biasanya ramai bermunculan sejak petang hingga menjelang tutup pukul 10 malam. Melihat pola kedatangan tamunya, Charles sedang mempertimbangkan perubahan jam buka. "Kami sering menolak mereka yang datang ketika mau tutup, lama-lama enggak enak juga," Charles menjelaskan.
Mereka bergantian mengisi 80-120 kursi yang terbagi dalam tiga ruang, yaitu beranda, ruang tengah, dan belakang dekat taman. Sejak buka pukul 10 pagi, biasanya suka ada pekerja yang sudah mengisi salah satu kursi untuk mengetik sambil berselancar di Internet memanfaatkan fasilitas wi-fi. "Mereka biasanya menyendiri dan tak mau diganggu," ujar lelaki berkulit putih itu sambil tersenyum.
Selain jam operasi, interior tempat rencananya akan diubah sedikit agar suasana lebih homey. Menambah jumlah sofa adalah salah satu pilihannya. Penggemar lagu rock era 70-an itu juga sedang mempertimbangkan pemasangan poster berbagai grup rock lawas untuk mempercantik dinding agar tak terasa kaku sebagai tempat makan sekaligus kongko.
Charles dan Jeffry, yang ikut mengelola tempat itu, punya jurus andalan untuk menghasilkan olahan baru. Mereka membuat berbagai sajian dari wafel sampai kentang goreng, lalu meminta teman-teman pelanggannya mencicipi sekaligus menamainya. Jika banyak disukai orang, sajian itu akan dimasukkan ke daftar menu.
Sumber : tempointeraktif
sandwich, pizza hut, burger
Tidak ada komentar:
Posting Komentar