Rabu, 27 Oktober 2010

Soto Mata Sapi - Khas Madura

Akhirnya, bulan lalu, untuk pertama kalinya saya melintasi jembatan kebanggaan bangsa kita – Jembatan Suramadu. Karya putra bangsa ini membentang sepanjang lebih dari lima kilometer, menghubungkan Surabaya dan Pulau Madura. Dari jendela lantai 18 kamar hotel saya di Embong Malang, jembatan ini tampak megah menghiasi panorama sebagian kota Surabaya, Selat Madura, dan sebagian Pulau Madura.

Berbagai jenis sarapan khas Madura pun sempat saya cicipi satu per satu. Dimulai dengan aneka bubur yang dijajakan penjual jongkok di Pasar Bangkalan. Seperti juga hampir selalu dapat dijumpai di berbagai kota Indonesia lain, bubur dan berbagai jajan pasar merupakan hidangan sarapan yang cocok. Pasalnya, berbagai jenis bubur ini mengandung karbohidrat yang membuat kenyang, cukup lunak sehingga mudah ditelan di pagi hari ketika “ruh” belum sepenuhnya terkumpul, dan juga mengandung gula yang secara sontak memberi energi.

Karena penjual bubur di Pasar Bangkalan ini kebanyakan berasal dari Desa Sobih, di dekat Bangkalan, maka bubur ini dikenal dengan nama tajin sobih. Jualan utamanya mirip bubur sumsum di Jawa, yaitu bubur dari tepung beras, santan yang dikentalkan, dan gula merah cair. Di samping itu, mereka juga menjual ketan hitam kukus yang dimakan dengan parutan kelapa, lopis, ongol-ongol, cenil, dan berbagai jajan pasar lainnya.

Seperti pernah saya kemukakan, sarapan seperti ini merupakan local wisdom yang akan menyelamatkan kita dari krisis pangan. Sumber karbohidratnya tidak melulu dari beras, melainkan dari berbagai umbi yang tersedia luas dan mudah ditanam dalam kondisi yang pas-pasan.

Karak dan nasi serpang

Sarapan kedua saya adalah makanan yang di Madura dikenal dengan nama karak. Uniknya, masakan khas ini hanya “beredar” di kampung Timur Pasar, tidak jauh dari alun-alun Bangkalan. Ternyata, yang disebut karak bukanlah nasi gosong yang melekat di dasar periuk seperti yang saya sangka semula. Disajikan di pincuk daun pisang, nasinya adalah campuran ketan hitam dan beras, sehingga menghasilkan tekstur yang sungguh khas. Tidak sepulen ketan (dalam bahasa Madura disebut plotan), dan menjadi lebih lembut karena dicampur beras. Lauknya hanya sejumput teri goreng dan parutan kelapa. Hidangan sederhana ini merupakan sarapan yang memuaskan.

Selain karak, di Bangkalan juga populer nasi serpang. Lagi-lagi, penamaan ini semata-mata karena semua penjual nasi di pinggir jalan ini berasal dari Desa Serpang di utara Bangkalan. Salah satu penjual nasi serpang yang populer – mungkin karena penjualnya cantik – mangkal di pinggir Jalan Lemahduwur, dekat Pecinan-nya Bangkalan.

Sebetulnya, nasi serpang ini hampir identik dengan nasi kucing yang sekarang populer di Jawa. Nasinya sedikit, dengan pilihan berbagai lauk sederhana. Tetapi, orang Madura memang dikenal piawai dalam hal memasak. Para ibu rumah tangga di Surabaya kebanyakan akan mencari pembantu dari Madura karena alasan ini.

Kesederhanaan lauk-pauk nasi serpang tetap dibalut dalam kerangka keahlian memasak ini. Semua masakannya seudeup. Duh, bahasa Sunda ini mungkin belum eksis, ya? Istimewanya lagi, penjual nasi serpang selalu menghadirkan masakan yang bahannya dari laut hingga udara. Mulai dari berbagai masakan ikan dari gatra laut, sayur-mayur dan ayam dari gatra darat, hingga burung puyuh goreng yang mewakili gatra udara. Hanya masakan dari gatra “kepolisian” saja yang tidak ada. He he he ...

Juara dan mak nyuss..

Dalam tulisan tentang Madura beberapa tahun yang lalu, saya pernah menulis tentang masakan juara dari Rumah Makan Amboina di dekat alun-alun Bangkalan. Bukan masakan Ambon, melainkan karena si empunya adalah orang Madura asli yang pernah beberapa tahun “terdampar” di Ambon.

Nah, juara keduanya adalah Rumah Makan Hikmah, di pinggir jalan raya utama Bangkalan. Rumah makan ini menghadirkan berbagai masakan khas Madura. Salah satu yang paling khas di sini adalah ikan bang-bangan (dalam logat Madura diucapkan sebagai beng-bengan). Ikan bang-bangan adalah ikan kakap merah yang dikeringkan dengan sedikit garam. Setelah kering, ikan ini dilembabkan kembali (rehydrate), lalu diiris tipis-tipis, dan dimasak dengan kuah mirip semur kental, tetapi dengan sedikit petis ikan. Dengan nasi hangat saja, sajian ini benar-benar mampu menggoyang lidah.

Madura juga terkenal dengan bebek gorengnya. Sekalipun menurut benchmark saya bebek paling juara adalah masakan H. Slamet Rahardjo di Kartasura – yang sekarang sudah buka waralaba di berbagai kota – tetapi, bebek goreng Madura sungguh tidak dapat dianggap enteng. Di Jalan Tembaan, samping Tugu Pahlawan Surabaya, ada penjual bebek goreng Madura yang istimewa. Begitu juga di “Kampung Madura” di Pulogadung.

Di jalan raya menuju Ketengan, ke arah Timur Bangkalan, ada Rumah Makan Sinjay yang khusus menjual bebek goreng. Rumah makan ini ternyata menjadi persinggahan mobil-mobil yang ramai lewat. Setiap harinya ratusan ekor bebek “dibantai” di sini.

Bebek gorengnya empuk, dengan bumbu yang meresap ke tulang. Di atas bebek yang digoreng hitam, ditaburkan sisa-sisa bumbu yang menjadi kering digoreng. “Kremes” yang sungguh gurih. Sambal trasinya diperkaya dengan serutan mangga muda. Mak nyuss!

Petualangan kuliner saya di Bangkalan ini ditutup dengan satu menu yang unik dan istimewa. Soto mata sapi! Ini bukan dari mata sapi berbentuk telur ayam goreng! Melainkan dari matanya sapi. Tersedia di Warung Istimewa, di jalan raya Desa Burneh, ke Timur dari Bangkalan.

Setiap hari, warung ini “memborong” bagian mata sapi (berikut sedikit tulang tengkorak yang mengelilinginya) dari berbagai pasar. Bahan dasar ini direbus sampai lima jam, sehingga menghasilkan kuah yang kental dan pekat. Bagian padat mata sapi masih utuh terbalut tulang. Setelah dibumbui, mata sapi ini disajikan sebagai soto dengan tambahan sedikit irisan daging sapi rebus.

Hmm, terbayang, kan? Memang mak nyuss, sih.

*kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar