Sekali lagi William Wongso menjadi tuan rumah bagi pertemuan Komunitas Jalansutra. Kali ini tempatnya di “Oyster” sebuah resto anyar di Plaza Senayan. Tentu saja, sesuai dengan nama restorannya, pertemuan kami kali ini merupakan tutorial tentang tiram. Tiram atau oyster adalah salah satu seafood mahal yang tergolong eksotik. Pengenalan terhadap tiram setara dengan pengenalan terhadap wine. Sangat kompleks!
Sekalipun merupakan negara kepulauan yang dikelilingi lautan, tiram ternyata bukan makanan sehari-hari rakyat kita. Oke, kita tahu saus tiram yang dipakai sebagai bumbu masak. Di Singkawang, Kalimantan Barat, juga populer dadar tiram yang menurut saya justru lebih dahsyat dibanding dadar tiram Hokian yang banyak dijajakan di Singapura dan Penang, Malaysia. Soalnya, di Singkawang tiramnya kecil dan lembut. Bila dadarnya setengah matang, wuih … mak nyuss! Kalau sedang kangen dengan makanan ini, saya biasa membeli tiramnya di sebuah toko di Jalan Pangeran Jayakarta yang spesial menjual berbagai bahan makanan dari Kalimantan Barat, lalu membuat dadar tiram di rumah.
Di perairan Bali dan Lombok kini juga banyak dibudidayakan tiram untuk mutiara. Jenis tiram ini berbeda dengan tiram untuk konsumsi. Sekarang bahkan ada tiram air tawar yang dibudidayakan untuk dipanen mutiaranya.
Tiram untuk konsumsi biasanya hidup di kawasan pantai laut. Di Amerika Serikat, berlaku ketentuan sangat ketat untuk memanen tiram konsumsi. Bila tingkat polusi di pantai kawasan itu tinggi, maka dikeluarkan larangan untuk memanen tiram. Ketika tinggal di Seattle, dari tempat duduk di sebuah restoran langganan saya, “Ray’s Boathouse”, sering tampak warga keturunan Indian mencari tiram. Mereka juga sering menjualnya ke “Ray’s Boathouse”, sehingga kami dapat pula mencicipi hasil tangkapan segar itu. Saya tidak tahu apakah tiram dari tempat itu kini masih boleh dikonsumsi. Pada saat itu saja, 15 tahun yang silam, sering sekali terjadi larangan memanen tiram di sana – khususnya pada bulan-bulan yang tidak mengandung “r” – yaitu Mei hingga Agustus.
Insang tiram merupakan saringan (filter) terhadap jasad renik yang terdapat di air laut. Tiram hidup dari fitoplankton, dan berbagai bahan pencemar akan tetap tinggal di dalam insangnya. Itulah sebabnya: makan tiram dari laut yang tercemar berarti kita makan kumpulan bahan pencemar. Apalagi, sebagian besar tiram dikonsumsi dalam keadaan segar, alias mentah – tidak dimasak
Karena sulit mendapatkan tiram yang sesuai untuk konsumsi – khususnya bagi para aficionados – maka hampir semua tiram yang tersedia di restoran-restoran Indonesia diimpor dari berbagai penjuru dunia. Tidak heran bila harga tiram sangat mahal. Selama ini, bila sedang ingin “berpesta” tiram, biasanya saya menunggu hari Minggu dan mengajak anak-cucu brunch di “Il Mare”, Hotel Mulia. Setiap hari Minggu di sana ada acara buffet brunch dengan tiram dan keju all you can eat.
Kehadiran “Oyster” di Jakarta sejak beberapa bulan ini tentu saja disambut hangat oleh para penggemar tiram segar. Restoran ini secara reguler mendatangkan tiram segar dari berbagai penjuru dunia. Tiram harus diterbangkan dalam keadaan hidup, dan harus tetap hidup sampai beberapa saat sebelum disantap. Untungnya, tiram punya daya tahan yang baik untuk menempuh perjalanan panjang hingga ke meja makan para penggemarnya.
Cangkangnya sangat keras, tajam, dan selalu tertutup rapat. Untuk membukanya dibutuhkan pisau khusus dan keahlian khusus. Menurut tradisi, tiram segar harus disajikan secara on the half shell – artinya, daging lembut tiram harus masih melekat pada sebelah cangkangnya yang cekung. Ada otot yang menempel pada cangkang dan harus disodok dulu sebelum menyantap dagingnya yang lembut.
Tiram yang terbuka cangkangnya akan segera menutup bila disentuh. Bila tidak ada reaksi, artinya tiram sudah mati dan tidak layak lagi dikonsumsi. Bila tiram akan dikonsumsi dengan cara merebusnya terlebih dulu, tiram yang hidup akan membuka cangkangnya ketika direbus. Tiram yang tidak membuka berarti sudah mati dan harus disisihkan.
Tiram segar memiliki aroma laut yang khas. Sama dengan para aficionados mengendus-endus aroma wine, para penggemar tiram pun selalu mengendus aroma tiram sebelum menyantapnya. Para penggemar tiram hardcore bahkan melahap tiram segar tanpa diberi bumbu apa-apa untuk dapat menikmati sepuas-puasnya keluguan, kepolosan, dan ketelanjangan tiram. Hmm, kenapa terdengar porno kalimat itu tadi, ya? Tetapi, secara umum, tiram segar dinikmati dengan sedikit perasan limau atau lemon, atau dengan cuka anggur dicampur dengan bawang merah cincang. Jangan pakai kecap manis, sambal, atau saus tomat!
Di “Oyster”, William Wongso meramu sebuah menu khusus bagi kami untuk dapat menikmati tiram dalam berbagai sajian. Appetizer-nya terdiri dari empat macam sajian tiram. Appetizer pertama disebut New Wave Makai, disajikan dalam shot seperti yang biasa dipakai untuk minum liquor. Isinya: daging tiram segar, tomat cincang, sedikit rempah, dan sake (arak beras dari Jepang). Cara makannya pun seperti menenggak liquor. Mak legendherrrr! Mulus banget! Dengan sedikit “tendangan” sake yang sangat cantik.
Appetizer kedua berupa tiga tiram segar dari berbagai penjuru dunia, yaitu: Sydney Rock, Pacific, dan Wild Dutch Oyster. Menurut William, cara yang terbaik adalah minum air berkarbonasi (sparkling water) untuk menetralisir rasa tiram sebelum mencicipi tiram jenis lain. Ini identik dengan makan soda crackers ketika melakukan wine tasting untuk menetralisir rasa wine sebelumnya.
Dengan mencicipi ketiga jenis tiram itu, kami dapat membandingkan kekhasan masing-masing. Tetapi, yang paling mencolok perhatian kami adalah aromanya yang berbeda-beda. Tiram dari perairan yang lebih bersih memberi aroma yang lebih bersih pula.
Appetizer ketiga adalah pastel goreng berisi tiram, keju mozzarella, dan jamur hitam. Sajian ini mengingatkan saya pada tiapia (kue tiram), hidangan khas orang Hokchia, yang di Jawa Timur dikenal dengan nama ote-ote. Dalam bahasa Inggris sajian ini disebut oyster turnover, disajikan dengan selada buah. Lho, mengapa tiram yang digoreng justru lebih amis aromanya? Ternyata, menurut William, pastel itu dibuat dari tiram beku – artinya tiram yang sudah mati. Tiram yang tidak segar memang cenderung menguarkan aroma yang lebih amis.
Appetizer keempat juga tiram yang sudah dimasak. Tiram dicampur dengan daun ginseng cincang dan mayones, lalu dipanggang dalam cangkangnya. Cara menyajikan seperti ini umum dikenal dengan nama gratin. Rasanya gurih dengan aroma amis tiram yang khas.
Karena masih punya “sisa” setengah lusin tiram Belon terbaik yang didatangkan dari daerah Britany di Prancis, William pun mengadakan undian di antara kami yang ber-23 malam itu – termasuk Vonny Roozen dan Jasmine, JS-ers dari Negeri Belanda. Hasilnya, lima orang beruntung memenangi undian. Lho, kan masih ada sisa satu? Rupanya, William sengaja menyisakan yang satu itu untuk Kepala Suku Jalansutra. Jadilah saya ikut menikmati sajian khusus itu. Rasanya memang benar-benar mak nyuss!
Saya sudahi cerita sampai di sini, karena hidangan berikutnya tidak mengandung tiram. Supnya adalah Consome Jubilee, yaitu sup kaldu ayam kampung dengan hati angsa. Sup ini juga dikenal dengan nama Consome a la Giscard d’Estaing bila ditambahi jamur truffle yang mahal. Hidangan utamanya adalah filet ikan orange roughy dari New Zealand. Dan ditutup dengan Black Russian Pie yang crust-nya dibuat dari coklat Valhrona.
Benarkah tiram adalah makanan afrodisiak? Konon, Casanova menyantap dua lusin tiram mentah setiap hari untuk memuaskan tante-tante yang harus dihiburnya. Nah, karena pertanyaan ini sudah di luar wilayah kuliner, sebaiknya ditanyakan kepada Dokter Boyke saja, ya?
*jalanasik
marzano, pizza hut, sandwich
Tidak ada komentar:
Posting Komentar