Senin, 25 Oktober 2010

Seafood Padang, Benar-Benar Mak Nyuss...!!

Seafood di Padang? Ya makanan Padang! Begitu umumnya fallacy yang berlaku setiap kali kita berkunjung ke Padang. Seolah-olah di Kota Padang hanya ada masakan Minang yang memang sudah kondang, bahkan melintasi batas negara. Tradisi merantau urang awak pun membuat rumah makan padang hadir di mana-mana. Setiap ada simpang tigo atau simpang ampek, pastilah ada rumah makan padang. Kecuali di bulan! Karena di bulan belum ada persimpangan jalan.

Kenyataan bahwa Padang berada di tepi laut mestinya menunjukkan bahwa di kota ini tentulah tersedia berbagai sajian hasil laut yang berkualitas. Jernihnya kawasan samudra di Timur kota ini – setidaknya bila dibandingkan dengan kondisi laut di Pantai Utara Jawa – juga merupakan testimonial bagi hasil laut yang bermutu.

Pulau Sikuai yang dapat dicapai dengan perahu cepat dalam waktu 45 menit dari Padang pun tampaknya hanya populer di kalangan wisatawan asing yang membaca informasi tentang pulau ini di buku panduan Lonely Planet. Baru belakangan ini Pulau Sikuai mulai menjadi tujuan wisata memancing bagi para penggemar memancing. Pulau Mentawai yang lebih jauh pun sudah sejak lama dikenal sebagai “gudang” lobster yang diburu para eksportir.

Kunjungan terakhir saya ke Padang mengungkap temuan beberapa rumah makan yang menyajikan sajian hasil laut juara. Begitu terpukaunya saya oleh kualitas masakan di beberapa rumah makan itu, sampai saya tak habis pikir. “Ke mana saja saya selama ini bila berkunjung ke Padang?”

Masakan Minang sebetulnya menampilkan cukup banyak ikan. Tetapi, kebanyakan yang dihadirkan adalah ikan darat, seperti: ikan mas, nila, mujair, dan gurami. Dari kawasan laut, ikan kakap terutama hadir kepalanya saja dalam masakan populer gulai kepala ikan. Ikan kembung biasanya hanya digoreng atau disajikan sebagai balado. Di rumah-rumah makan yang menyandang tulisan “Pauh Piaman” (dari Desa Pauh, dekat Pariaman), juga banyak terhidang gulai atau masakan asam pedas dari ikan tenggiri dan tongkol.

Tetapi, apa tidak bosan bila selama beberapa hari di Padang kita selalu makan masakan Minang untuk makan malam dan makan siang? Itulah sebabnya kali ini sengaja saya tulis tentang beberapa tempat yang khusus menyajikan seafood.

Tempat pertama yang menjadi rekomendasi saja adalah RM “Djoni/Kun” di Muara, masih termasuk kawasan Chinatown-nya Padang. Warungnya sangat sederhana – dengan tiga meja panjang dengan bangku-bangku panjang yang sering dipenuhi para tamu. Ketika singgah ke sana, muncul kreativitas saya untuk mengangkat sebuah meja kecil dan kursi ke seberang warung, supaya tempat duduk saya langsung berada di tepi Sungai Batang Arau. Asyik! Serasa di Venezia!

Sajian andalan “Djoni/Kun” adalah ikan bakar santan. Kebanyakan para tamu memilih ikan kerapu yang dibakar, kemudian dilumuri dengan saus santan kental berwarna jingga, dan kemudian dibakar lagi. Tidak hanya unik, tetapi juga istimewa. Ketika berkunjung ke sana, saya memesan ikan pari sebesar telapak tangan untuk dibakar dengan santan. Maklum, ikan kerapunya terlalu besar untuk dimakan sendiri. Ternyata, pari bakar santan itu pun hadir istimewa.

Djoni membawa seekor udang kipas ke meja saya. Ia memuji kesegaran udang yang baru didapatnya tadi pagi. “Saya goreng dengan sambal petai, ya?” katanya menawarkan. Sungguh taktik yang jitu. Saya langsung menyerah. Klepek-klepek.

Tak lama kemudian, sajian itu datang. Tampilannya sungguh memesona. Udang kipasnya dibelah, kemudian digoreng. Sambal goreng petai kemudian dituangkan di atasnya sebagai topping. Mak nyusssss!

Udang kipas memiliki kualitas daging yang sungguh lembut dan mulus. Sekalipun harganya lebih murah daripada lobster, tetapi rasanya jauh mengalahkan lobster. Kalau Anda nanti menjumpai udang kipas, tubruk saja langsung. Dijamin tidak akan menyesal.

Saya harus mengakui bahwa “Djoni/Kun” punya kualitas masakan di atas rata-rata. Inilah tempat yang saya rekomendasikan untuk makan seafood di Padang. Ia selalu sedia segala macam ikan, udang, lobster, cumi-cumi, dan kepiting. Djoni pun lihai menampilkan segala jenis masakan untuk mengolah seafood.

Di Padang sejak beberapa lama ini juga telah hadir sebuah seafood foodcourt. Semula bernama “Nagoya”, kini setelah ganti manajemen menjadi “Enagoya”. Semua kios yang bergabung di sana harus menampilkan menu seafood. Tidak heran bila di sana ada satu gerobak penjual martabak telur yang isinya bukan daging kambing atau daging sapi, melainkan ikan dan udang. Rasanya? Mirip seafood omelette. Tidak jelek, tetapi agak memaksa.

Di “Enagoya” saya terpesona dengan kualitas sup ikannya. Sangat mirip dengan sup ikan di Batam. Harum, bening, isinya irisan tipis daging ikan yang hanya dimasak sebentar dalam kuah yang gurih. Setelah diangkat dari api, dimasukkan beberapa potongan daun selada. Aroma minyak wijen membuat sup ikan ini sungguh istimewa. Saya baru kemudian sadar bahwa rupanya pemilik terdahulu adalah orang Batam yang punya rumah makan di kawasan Nagoya.

“Enagoya” adalah tempat makan murah-meriah dengan kualitas yang cukup baik. Setidaknya, kehadiran seafood pada aras foodcourt akan membuat sajian ini makin populer di Padang.

Tempat ketiga tampil lebih elite, berlokasi di kawasan Taplau (Tapi Lauik alias Tepi Laut). Padang adalah kota yang beruntung – sebagaimana halnya Makassar – karena memiliki pantai yang indah di tengah kota. Sayangnya, entah bagaimana cara berpikir para pemikir tata kota Padang, keindahan pantai itu “dirusak” dengan bangunan-bangunan untuk menempatkan para penjaja makanan. Dulunya, di sepanjang jalan itu bermunculan para penjual rujak, es tebak, dan jagung bakar. Karena dianggap tenda-tenda mereka tidak seragam, Pemda Kodya Padang pun melakukan penataan dengan membangun kios-kios yang seragam. Memang rapi. Tetapi, halloooo, di mana dong pantainya? Oh, di balik kios-kios itu?

Pembinaan memang kadang-kadang berbatas tipis dengan pembinasaan.

Restoran yang saya maksud di Taplau ini letaknya justru di seberang jalan yang di pinggir pantai – tempat yang memang seharusnya untuk me-“lokalisasi” para pedagang makanan maupun suvenir. Restoran ini menempati sebuah bangunan berlantai tiga, bernama “Nelayan”.

Bila melihat daftar menu “Nelayan”, sajiannya sangat mirip dengan yang dapat kita jumpai di restoran-restoran serupa di Jakarta, seperti “Pondok Laguna” di kawasan Pecenongan. Ada lumpia seafood, tahu kipas, dan sebangsanya.

Tetapi, bila sedikit teliti membaca menu, kita akan menemukan items baru yang jarang dijumpai di tempat lain. Misalnya, kailan tumis blacan. Dipilih kailan yang masih muda, sehingga sangat renyah dan tidak berserat. Mengesankan!

Ikan kerapu bakar bawang putih yang saya pesan tampil mengagumkan. Ketika datang, ingatan saya langsung melayang pada hidangan “Hutong”, sebuah restoran mewah di Hong Kong – yaitu ikan utuh yang dipanggang dalam oven, dengan taburan bawang putih cincang goreng dan kacang tanah goreng yang ditumbuk kasar.

Di “Nelayan”, kerapunya dibakar sempurna, sehingga menghasilkan daging yang lembut dan manis, tanpa gosong. Bawang putih cincang yang digoreng sempurna pun melengkapi keistimewaan hidangan ini. Biasanya, bila bawang putih belum matang digoreng, yang muncul adalah citarasa pedas. Sebaliknya, bila terlalu gosong digoreng, rasanya berubah pahit. Di “Nelayan”, bawang putih cincang digoreng dengan pas, berwarna kuning keemasan, dan manis rasanya. Mak nyusss!

*jalanasik
coffee bean, nelayan restoran, tamani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar