Sekalipun Thaksin Sinawatra masih menjadi persona non grata yang tidak diperkenankan pulang ke tanah airnya sendiri, ia setidaknya telah berjasa karena menjadi ujung tombak sebuah program besar “Thai Kitchen to the World” yang berhasil menabur lebih dari 20.000 restoran masakan Thai di seluruh dunia.
Bagaimana prestasi kita untuk membuat kuliner Indonesia tidak sekadar jago kandang? He he, don’t play-play, yes? Don’t be kaypoh, la. Jelek-jelek kita juga sudah lumayan berhasil kok membawa masakan Indonesia menyeberang lautan. Tanpa dukungan Pemerintah, ekonomi kreatif berbasis budaya ternyata sudah memunculkan beberapa pebisnis di bidang kuliner untuk coba-coba di luar negeri. Apalagi kalau nanti ada dukungan Pemerintah?
Di negara tetangga kita yang paling dekat, yaitu Singapura, masakan Indonesia sudah cukup dikenal. Maklum, orang Singapura terkenal sebagai “tukang makan”. Mereka gemar bertualang untuk memanjakan lidah, mencari makanan-makanan enak. Apalagi dengan lidah Asia mereka, masakan Indonesia tentulah mudah disukai.
Sudah sejak lama orang Singapura mengenal RM Hajjah Maimunah di Jalan Pisang. Rumah makan ini menyajikan masakan minang yang cukup otentik. Ikan selar bakar, paru balado, dan sayur nangka muda – dan belasan masakan lainnya – yang ditawarkannya, tidak saja menjadi pengobat rindu bagi masyarakat Indonesia yang sedang bermuhibah ke sana, tetapi juga membelai lidah orang-orang Singapura. Jangan lupa mencicipi siput sedut (kol nenek) dalam gulai encer yang lezat.
Popularitas Hajjah Maimunah di tataran akar rumput rupanya membawa Salero Bagindo – jaringan rumah makan masakan minang di Indonesia – cepat menebar beberapa cabangnya ke Singapura. Di beberapa mal di Singapura, dulu, sempat hadir beberapa gerai Salero Bagindo. Entah kenapa, Salero Bagindo tiba-tiba menghilang. Bahkan yang di Jakarta pun saya tak pernah melihatnya lagi.
Sekarang, di Singapura sudah hadir cabang RM Garuda. Jaringan yang satu ini memulai popularitasnya di Medan, kemudian merambah Jakarta, dan cabangnya di Singapura cukup berkibar. Lokasinya pun di daerah elite, tidak nyempil seperti Hajjah Maimunah. Bahkan, bekerja sama dengan Tung Lok Group, Garuda sekarang juga sudah hadir di Vivo City Centre, sebuah mal papan atas di Singapura.
Masakan padang memang cukup populer di Singapura. Tidak saja di antara masyarakat puak Melayu, melainkan juga orang-orang Tionghoa, India, bahkan orang-orang Kaukasia. Belum lama ini saya melihat Warong M. Nasir Indonesian Nasi Padang yang tiba-tiba muncul di sebelah Killiney Kopitiam. Sebelumnya, di Keong Saik juga ada Yanti Masakan Padang. Atau Pagi-Sore di Telok Ayer Street. Dan banyak lagi, termasuk gerai-gerai kecil yang hadir di berbagai food court. Tulisan “Masakan Padang” cukup hadir mewakili eksistensi kuliner Indonesia di Singapura.
Di Newton Circus, salah satu tempat makan yang dijadikan ikon pariwisata Singapura, juga tampak banyak gerai memakai “Masakan Indonesia” – sekalipun masih tampak hanya sebagai embel-embel. Tampak sekali usaha mereka untuk menarik orang-orang yang mencari makanan halal – khususnya wisatawan dari Indonesia – dengan “penempelan” istilah Indonesia.
Selain masakan minang, masakan “Jawa” pun mulai terasa kehadirannya di Singapura. Sejak tiga tahun terakhir ini, di beberapa sudut Singapura tampak beberapa gerai yang menawarkan ayam penyet. Ada Ria, ada Ojolali. Ada juga yang hadir tanpa nama. Cukup dengan menekankan pada kata “Ayam Penyet” yang rupanya memang sudah mulai dikenal. Sayangnya, keberadaan mereka masih agak di pinggiran. Belum tampil di center stage panggung kuliner Singapura.
Ada juga House of Soto yang tampaknya berusaha memerkenalkan soto sebagai salah satu masakan Indonesia yang juara kepada lidah Singapura yang memang pemilih. Di kawasan East Coast yang memang terkenal untuk hidangan seafood, juga muncul Pondok Gurame sebagai alternatif. Juga Pondok Jawa Timur di Takashimaya.
Saya sebenarnya ingin melihat kehadiran masakan minahasa di Singapura. Menurut saya, masakan minahasa – yang bekeng malele gidi-gidi – memenuhi syarat untuk cepat disukai masyarakat Singapura. Apalagi kenyataan bahwa kebanyakan masakan minahasa menampilkan ikan laut dan ikan air tawar sebagai bahan utama. Masakan makassar yang juga menonjolkan berbagai jenis ikan bakar pasti pula akan punya tempat spesial di Singapura.
Sekitar dua tahun yang silam, saya sempat singgah ke Bumbu Restaurant di Kandahar Street. Bumbu Restaurant tampaknya ingin menjaring konsumen Singapura di tataran fine dining. Penampilannya agak mirip Meradelima di Pondok Indah. Tampil chic dan eksklusif. Sayangnya, Bumbu Restaurant agaknya belum cukup berani untuk sepenuhnya bersandar pada kekuatan kuliner Indonesia. Pada signage restorannya, ia masih menampilkan tulisan Indonesian & Thai Restaurant. Ini sekaligus juga menunjukkan bahwa dari segi popularitas kuliner, Indonesia masih di bawah Thailand. Kebesaran nama Thailand sengaja dipakai untuk “mengatrol” nama Indonesia. Padahal, kerapu kuah asam kita jelas tidak kalah dibanding tom yam kung. Gado-gado kita juga superior bila dibanding som tam (salad mangga muda).
Kenyataannya, masakan Indonesia di Bumbu Restaurant ini cukup unik dan boleh dibanggakan. Tahu telornya memakai kecombrang, sehingga memberikan “tendangan” rasa yang sangat unik. Begitu juga sayur lodehnya berwarna kuning untuk menambah kecantikan visualnya. Penampilan sajiannya sudah boleh disejajarkan dengan cara Thai menggelar masakannya.
Java Kitchen yang mungkin telah Anda kenal di Bulevar Kelapa Gading, ternyata juga sudah cukup lama hadir di Singapura. Selain rumah makan utama yang berlokasi di Tanjong Katong, Java Kitchen juga punya gerai di Food Republic Vivo City Centre. Java Kitchen, seusai dengan namanya, sekarang tampil sebagai ujung tombak yang konsisten dalam memerkenalkan masakan Jawa kepada audience Singapura.
Dalam pengamatan beberapa saat di Java Kitchen Singapura, tampak kebanyakan pengunjungnya justru warga Singapura. Sajian populer yang disukai mereka adalah sop buntut dan mini tumpeng. Bagi masyarakat Singapura yang umumnya mematok “harga psikologis” di sekitar angka lima dolar, popularitas sop buntut yang dibandrol dengan harga delapan dolar cukup menggembirakan. Mini tumpeng di gerai ini sebetulnya adalah nasi putih yang dibentuk kerucut, disajikan dengan berbagai lauk pauk khas Jawa, dibandrol dengan harga enam dolar.
Pada kesempatan lain, saya sempat berjumpa dengan Budi Harto, pemilik Java Kitchen. Orang Semarang ini memberi tahu saya bahwa ternyata sekarang orang Singapura mulai gemar tumpeng. Bukan hanya tampak pada naiknya penjualan mini tumpeng di gerai-gerai Java Kitchen, melainkan juga tampak pada “derasnya” pesanan tumpeng komplet dalam tampah besar yang dijual dengan harga Sin$200.
Menurut Budi Harto, popularitas itu agaknya diawali ketika seorang cucu Lee Kuan Yew berulang tahun dan memesan tumpeng komplet sebagai pengganti tart. Heran juga, bukan orang Jawa, tetapi kok punya apresiasi terhadap nilai dan makna falsafi tumpeng.
Singkat kata, orang-orang Singapura terkesima dengan penampilan tumpeng. Sekarang, menurut Budi Harto, tiada hari tanpa pesanan tumpeng komplet di Java Kitchen Singapura. “Bukan cuma untuk ulang tahun, Pak,” kata Budi. “Sekarang banyak kantor-kantor yang memesan tumpeng untuk acara-acara mereka.”
Hebat juga. Tumpeng jawa ternyata berhasil menerobos mindset orang Singapura yang pada dasarnya sadar biaya (cost conscious). Dengan Sin$200 untuk sebuah tumpeng komplet, antara 20-25 orang bisa makan kenyang. Biaya per head hanya sekitar Sin$10. Unik, lezat, murah, praktis, berbudaya pula.
* jalanasik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar