BILA Anda berkunjung ke Kota Tondano, Provinsi Sulawesi Utara, jangan lupa untuk mampir di kedai-kedai penjual "bia kolobi". Meski namanya rada sedikit aneh, tetapi makanan ini wajib dicoba, terutama bagi Anda yang menyukai kuliner bercitarasa pedas dan manis. Ya... "bia" itu berasal dari kata kerang yang dalam bahasa penduduk sekitar berarti hewan siput atau keong sawah. Jadi bia kolobi itu bisa dikatakan sate keong yang diberi bumbu sambal dengan citarasa luar biasa pedas.
Setelah berkeliling danau sarang burung Tondano hampir seharian, saya sengaja memilih waktu makan malam di warung-warung tepi sawah yang menjual bia kolobi. Tempatnya berada di tengah sawah tetapi jalan masuk sudah beraspal. Bila tak ingin tersesat, Anda bisa bertanya pada penduduk sekitar pasti tahu tempat akan sate keong ini. Sesampai di kompleks beberapa warung yang menjual sate keong sawah itu, baunya pun sudah terasa menyengat indra pencium.
Penjual belum sempat menanyakan akan memesan berapa tusuk, saya langsung menyahut dua puluh tusuk. Padahal belum tahu rasa makanan yang belum terlalu familiar di lidah ini.
Maklum, perjalanan seharian berkeliling danau cukup menguras energi dan belum sempat makan siang. Sementara menunggu sate keong bumbu pedas ini dihidangkan, saya ngemil perkedel dari ikan nike yang banyak terdapat di Tondano. Ikan ini seperti teri tetapi sangat lunak dan empuk bila dimasak. Lumayanlah, sedikit mengganjal cacing di perut yang mulai berontak.
Waktu menunggu sekitar 15 menit ditemani musik dari televisi dan VCD player yang memutar kencang lagu-lagu daerah Manado semakin membuat waktu berjalan lambat. Sementara dari tadi, indra pencium saya yang disengat bau harum bia kolobi yang sedang dibakar dnegan margarin oles. Akhirnya, penantian berakhir sudah, indra perasa alias lidah juga “disengat” oleh bumbu yang rasa pedasnya hingga ke ubun-ubun. Tetapi sate keong ini sangat kenyal dan bumbunya pun terasa hingga ke dalam daging si keong yang dibakar.
Sate ini biasa dinikmati dengan nasi hangat ditambah tumis daun pepaya, kangkung dan paku yang dimasak pedas. Tetapi bila ingin dimakan sebagai cemilan pun sama lezatnya, asal Anda tahan pedasnya.
Apalagi menikmati makanan khas pedesaan ini ditemani semilir angin di tepian sawah, sungguh semakin mengundang selera. Selain bia kolobi, di tempat itu juga menyajikan ikan bakar dan teri woku yakni teri basah yang ditumis pedas.
Saya sudah kewalahan untuk menghabiskan 20 tusuk bia kolobi karena pedasnya yang tak hilang di lidah meski sudah diberi minum air bergelas-gelas. Tetapi untung ada dua teman saya asal Manado yang sudah terbiasa dengan rasa pedas dan bersedia menjadi “korban” menghabiskan si keong sawah ini.
Saat seru-serunya merasai pedas hingga membuat mata berkaca-kaca, tiba-tiba lampu mati. Gelap gulita hanya terlihat nun jauh lampu-lampu kecil di kota. Padahal saat kepedasan, saya belum sempat minum.
“Maaf ya, Nak, di sini memang sering mati lampu. Maka kami semua yang punya warung sudah sedia genset, kalau mati lampu seperti ini. Oke sekarang sudah pakai genset, silakan lanjutkan,” uajr pemilik warung.
Saya sempat deg-degan saat lampu mati. Gelap gulita dan lidah seperti terbakar si kolobi, benar-benar penuh kenangan makan kolobi ini.
Yang jelas, mata saya sebelumnya seperti lengket dalam perjalanan dari danau menuju ke kedai kolobi. Tetapi setelah si kolobi digilas mulut, saya benar-benar tak lagi merasa ngantuk. Sungguh, bia kolobi obat rasa ngantuk yang paling mujarab. Satu jam perjalanan dari Tondano ke Manado selama satu jam pun, saya masih terjaga padahal kekenyangan biasanya mengantuk…
*jalanasik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar