Nama restoran itu Djuku. Dalam bahasa Makassar, djuku berarti ikan. Bagus! Jadi, saya berharap dapat menyantap sajian ikan yang memang terkenal khas dan menjadi unggulan Makassar.
Wah, ternyata ini adalah restoran mewah! Tidak ada orang membakar ikan di depan - seperti biasanya merupakan pemandangan di warung-warung Pangkep. Di dalam ruang berhawa dingin itu tampak tatanan apik sebuah resto modern dengan konsep open kitchen.
Saya memesan Chepa on Salsa (Rp 40 ribu). Sekalipun daftar menu-nya tampak sederhana, tetapi sebetulnya banyak pilihan "tersembunyi" di sana. Para tamu harus "pintar" membaca menu, agar dapat memesan secara cerdas. Misalnya, untuk makanan yang saya pesan, ternyata hanya jenis ikannya saja yang sudah fixed - yaitu ikan cepa (semacam trevally atau ikan kuwe) - dan tumisan sayurnya. Sausnya masih harus dipilih dari enam jenis salsa yang tersedia, yaitu: saus parappe khas Makassar, rica-rica, tartar, saus kacang, dan sambal trasi. Untuk karbohidratnya pun kita masih harus memilih: kentang goreng, kentang ongklok, nasi putih, nasi merah.
Sekalipun bernama Djuku, ternyata resto ini hanya menyediakan empat macam ikan terbaik, yaitu: cepa, sunu (kerapu), seabass (kakap putih), dan baracuda. Udang, cumi, lobster, kepiting tampaknya sengaja tidak ditampilkan sebagai pilihan sajian. Tetapi, di sini juga tersedia steak daging sapi maupun ayam.
Karena saya tidak memesan appetizer, sambil menunggu hidangan utama dimasak, disajikan roti focacia dengan berbagai salsa. Focacia buatan sendiri yang bermutu bagus. Pilihan salsa untuk mencocol roti tampaknya sengaja disajikan dalam porsi kecil-kecil sebagai sampler agar tamu dapat memilih saus untuk ikan bakar yang dipesan.
Hidangan utama datang dengan tampilan yang mengesankan. Gaya nouvelle cuisine yang kreatif. Fillet ikan cepa yang dibakar dengan baik tampak "bertengger" cantik di atas tumisan jagung, greenpeas, wortel, buncis, kembang kol, dan paprika. Nasi merah dan saus parappe di dalam mangkuk-mangkuk tersendiri.
Ikan bakarnya juara - resultat wajar dari ikan yang benar-benar segar dan teknik memasak yang terpuji. Saus parappe-nya membuat saya tertegun sejenak. Saya terbiasa dengan saus parappe bernuansa kuat bawang merah. Saus parappe Djuku lebih balanced dan kompleks, dengan hint rasa manis yang tepat untuk mengimbangi gurihnya ikan bakar. Verdict: mak nyuss! Baik ikan maupun sausnya. Begitu pula tumis sayurnya cakep. Definitely, bukan pilihan yang salah.
Nasi dari beras merahnya pun tampil mengesankan. Beras merah dari Takalar ini ternyata memiliki tekstur yang mirip beras Arborio dari Italia yang biasa dipakai untuk membuat risotto. Nasinya garing dan kesat, sungguh terasa beda di mulut.
Untuk melengkapi kesan lokal, saya sengaja memesan teh Ori (teh hijau) dari Malino. Kesannya mirip seperti kita makan di restoran Tionghoa dengan didampingi Chinese tea yang serasi.
Terus terang, saya tiba-tiba merasa bangga bahwa di Makassar pun kini telah hadir sebuah restoran yang menyajikan masakan Indonesia (sekalipun dalam versi fusion) yang sungguh tidak mengecewakan. Yang juga mengherankan adalah ketika akhirnya saya menyadari bahwa untuk ambience yang sedemikian classy, dan mutu makanan yang unggul, ternyata rekening makan siang itu "hanya" di kisaran Rp 70 ribu. (Bondan Winarno)
Djuku
Wisma Kalla
Jl. Dr. Sam Ratulangi 8
Makassar
* detikfood